Minggu, 22 Februari 2009

PACARKU INDONESIA, CINTAI INDONESIA APA ADANYA


Oleh: Gus RY

Pacarku Indonesia
Indonesia cinta kita
Pacarku Indonesia
Kita saling cinta
Pada Indonesia

(Pacar Indonesia)

Demikian reff lagu yang diciptakan oleh Afid, Mamad, dan Andi, serta Yusrizal KW, sebagai penulis lirik, mengantarkan diskusi bulanan kedua yang diselenggarakan Komunitas untuk Indonesia, pada Minggu 27 Juli 2008, di STMIK Indonesia, Padang. Diskusi dengan tajuk “Siaran Televisi Miskin Nilai Pendidikan” ini diikuti oleh orang muda, usia sekolahan, dengan menghadirkan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah—KPID—Sumatra Barat, Sumartono, sebagai Kak Pakar—baca; Pembicara.

Diskusi diawali dengan berita-berita seputar dampak siaran televisi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dari berita-berita tersebut, peserta diajak berpikir tentang siaran-siaran televisi yang belakangan memang tidak mencerdaskan, disebabkan masyarakat Indonesia yang latah. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan oleh pemilik siaran untuk menayangkan siaran-siaran yang pada dasarnya sama di tiap stasiun televisi, namun beda kemasan. Hal inilah yang sering ditanggapi dan mendapat teguran Komisi Penyiaran Indonesia dan KPID.

Berbicara soal Komisi Penyiaran Indonesia, seperti yang dijelaskan Sumartono, keberadaannya didasarkan pada UU nomor 32 tahun 2002, tentang Penyiaran, dengan semangat pengelolaan sistem penyiaran, yang merupakan ranah publik, harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Keanggotaannya terdiri dari sembilan orang KPI Pusat, dan tujuh orang KPI Daerah (setingkat propinsi). Dengan adanya komisi penyiaran ini, maka diharapkan siaran-siaran televisi di Indonesia, bisa menjadi media pembelajaran bagi masyarakat. Sesuai dengan salah satu misinya, mewujudkan program siaran yang sehat, cerdas, dan berkualitas, untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan bangsa, persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai dan budaya Indonesia.

Namun, di balik itu semua, legalitas KPI terkesan setengah hati dan hanya sebatas tukang semprit—istilah Sumartono—sementara mereka tidak punya kekuatan untuk menilang atau menindak pelaku siaran yang dinilai tidak berkualitas. Dengan hanya teguran, ini tidak akan membuat pemilik stasius televisi bergeming. Siaran televisi di Indonesia tetap membodohi. Selain itu, anggota KPI yang hanya sembilan orang ditambah tujuh orang di daerah, bertugas tiap hari mengawasi lebih dari enam ratusan siaran radio dan televisi, efektifkah?

Di sinilah, peran masyarakat, terutama anak sekolahan dan mahasiswa, sebagai media penyadaran terhadap keluarga dan masyarakat sekitarnya. Melihat, anak-anak sekolah sekarang yang disibukkan rutinitas sekolah dan kegiatan lain, ada kemungkinan mereka tidak punya banyak waktu untuk menonton televisi, namun mereka mengetahui dan cukup cerdas serta kritis dalam menilai dan menyikapi siaran-siaran televisi tersebut—ini terlihat dalam diskusi. Sementara, sebenarnya yang kerap menonton televisi—terutama siaran-siaran yang melanggar Standar Program Siaran KPI, antara lain melanggar norma kesopanan dan kesusilaan dengan banyak menampilkan kekerasan, menampilkan kata-kata kasar, merendahkan dan melecehkan orang lain, seperti sinetron, infotainment, tayangan kriminal dan kekerasan, dan seterusnya—kebanyakan ibu-ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga yang kesehariannya di rumah.

Nah, sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan dan tanggapan dalam diskusi tersebut, yang mana semua persoalan diutarakan oleh yang muda, kemudian dikembalikan lagi kepada mereka untuk menyikapinya, maka dapat ditarik benang merah, bahwa sudah seyogyanya seluruh masyarakat menjadi pengawas terhadap tayangan televisi, tidak hanya sebagai penonton pasif, serta dibutuhkan kerja sama yang baik dengan KPI. Dalam hal ini, KPI sebagai lembaga yang legal memberi teguran memiliki layanan call center untuk menerima pengaduan masyarakat. KPID Sumbar membuka layanan dengan nomor kontak 081 266 06114 atau 081 374 476559.

Diskusi yang berjalan alot ini telah menghimpun berbagai pendapat kaum muda dalam melihat dan menanggapi persoalan siaran televisi di Indonesia. Bahkan, sebuah tanggapan ekstrim dilontarkan oleh salah seorang peserta, di mana jangan ada televisi di ruang keluarga, ruang makan atau tempat berkumpul keluarga lainnya, jika perlu letakkan televisi di gudang. Shut down your tv!!!

Komunitas untuk Indonesia

Ada yang menarik sebenarnya, dari yang selama ini selalu dipinggirkan dan tidak pernah menjadi perhatian. Mungkin, streotipe generasi pop yang fashionable selalu mengiringi lenggok anak-anak usia belasan di lantai mall. Namun, di sana juga hadir pemikiran yang cerdas dan kritis menyangkut persoalan-persoalan negara ini. Permasalahannya sekarang, mereka (baca; anak-anak sekolah menengah atau para remaja) tidak menemukan tempat untuk menuang dan mengurai pendapat tersebut.

Hingga pada Minggu, 8 Juni 2008, saat pameran buku atau Minangkabau Book Fair di gedung Bagindo Aziz Chan, mereka seolah menemukan tempat berbicara. Di sana mereka berkumpul dalam sebuah tenda—mungkin awalnya memang tenda, tapi tidak tertutup kemungkinan akan menjadi rumah—dengan mengusung nama Komunitas untuk Indonesia. Teriakan Untuk Indonesia Aku Ada menggema, diselingi lagu atau balada tentang Indonesia, yang kemudian menjadi style dalam diskusi-diskusi mereka selanjutnya, di samping pembagian buku kepada setiap penanya dan penanggap.

Pembicaraan pada sore itu menyangkut nasionalisme, dengan Kak Pakar M. Taufik, Israr Iskandar, dan Eka Vidya Putra—semuanya peneliti di berbagai lembaga penelitian. Barangkali ini hal yang jarang atau tidak pernah ada dalam diary mereka—para remaja. Memang, pembicaraan seputar nasionalisme ini tidak semenarik obrolan tentang penyanyi pendatang terbaru, Afgan. Atau Cinta Laura yang keren dengan beiceik, gak ada oujeik. Juga type ponsel terbaru, atau juga model dan merek baju terbaru. Tapi, mereka memiliki pemikiran yang menarik tentang nasionalisme dari kegandrungan terhadap obrolan-obrolan yang selalu terbaru tersebut.

Inilah yang menjadi titik tolak kelahiran komunitas yang juga diprakarsai oleh orang muda dari Yayasan Citra Budaya Indonesia dan Revolt Institute ini. Di mana, ketika remaja yang selalu tidak dianggap atau tidak dibawa serta dalam memandang persoalan negara ini, bisa berbicara dan kritis terhadap persoalan-persoalan disekitarnya, sesuai dengan alur pikiran mereka. Di sini setiap tanggapan dihargai. Barangkali, ini akan menjadi jawaban terhadap eksistensi kaum muda Indonesia di tengah hegemoni kaum tua, yang kondisinya seperti bahasa iklan sebuah merek rokok, “belum tua, belum boleh bicara”.

Komunitas ini nantinya akan menjadi media bagaimana yang muda, terutama anak-anak sekolah dan mahasiswa, bisa berbicara dan menanggapi persoalan-persoalan negara, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, melalui diskusi bulanan yang akan diadakan di berbagai kota di Sumatra Barat. Bahkan, juga akan dibentuk semacam parlemen remaja, yang mengingatkan para anggota parlemen Indonesia akan janji-janji kampanye, serta tanggung jawabnya terhadap rakyat.

***
Seperti itulah, Komunitas untuk Indonesia telah menghimpun harapan-harapan anak Indonesia terhadap bangsanya. Kita akan tercenung sejenak atau menarik nafas panjang, ketika anak Indonesia berharap, aku ingin punya bapak yang tidak korupsi, aku ingin punya ibu yang tidak menonton sinetron, aku ingin punya teman yang rajin membaca. Tidak ada hujatan terhadap Indonesia di sini, tidak juga caci maki terhadap kondisi negara yang semakin tak jelas ini. Apapun yang terjadi dengan bangsa ini, semuanya pacar Indonesia yang sangat cinta Indonesia. Laiknya harapan anak Indonesia yang lain, aku ingin mencintai Indonesia apa adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar